Sastra Arab sebagai salah satu sastra tertua di dunia telah memikat para pembaca selama ratusan tahun melalui gambaran mendalam tentang emosi manusia dan keindahan ekspresi. Sastra merupakan cerminan kehidupan dari masyarakatnya, hal ini juga sangat nyata pada sastra Arab yang memiliki dua bentuk, puisi dan prosa.
Puisi, atau syair dalam bahasa Arab, merupakan bentuk paling klasik sastra Arab yang dapat ditelusuri sudah ada sejak zaman Jahiliah atau pra-Islam. Syair mengisi kehidupan masyarakat Arab di berbagai aspek dan dinikmati seluruh lapisan masyarakatnya. Salah satu genre atau tema yang sudah ada sejak zaman Jahiliah adalah ar-Ritsa, yang kita ketahui juga sebagai syair ratapan atau elegi.
Syair-syair ar-Ritsa mengekspreksikan rasa putus asa, kepedihan, duka atau kesedihan dan kerinduan yang muncul atas musibah atau kepergian seseorang. Karena sifatnya yang berupa elegi, ar-Ritsa menggunakan berbagai elemen puitis yang meningkatkan dampak emosional bagi pendengar atau pembaca. Penggunaan metafora, perumpamaan, dan bahasa deskriptif menambah kedalaman dan intensitas elegi. Wazan dan Qafiyah (pola dan rima) yang diaplikasikan pada setiap syair Arab pada umumnya juga digunakan pada ar-Ritsa dan dapat melengkapi suasana kesedihan. Dalam konteks syair zaman Jahiliah di mana konflik antar suku sangat marak, ar-Ritsa biasanya menggambarkan kedukaan atas kematian kerabat yang gugur dalam peperangan. Pada era tersebut, salah satu penyair yang terkenal dengan syair ratapannya adalah al-Khansa, seorang penyair wanita yang syairnya bahkan dapat membuat Rasulullah saw. menangis. Al-Khansa banyak meratapi dua saudaranya, Mu’awiyah dan Sakhr, yang gugur dalam peperangan antar qabilah (suku). Dalam konteks kehidupan mereka saat itu ratapan al-Khansa beresonansi dengan masyarakat Arab. Penyair-penyair wanita lainnya pada zaman tersebut juga lebih banyak membuat syair bertema ar-Ritsa.
Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban Islam, syair ar-Ritsa juga juga mengalami perluasan tema. Pada masa dinasti Umayyah, di saat ungkapan-ungkapan khas zaman Jahiliah masih digunakan pada genre syair lainnya, namun dalam ar-Ritsa penyair-penyairnya sudah terlihat sebisa mungkin memerhatikan agar kata-kata dalam syair mereka tidak keluar dari hukum Islam. Mereka juga menghubungkan segala sesuatu kepada Allah Swt., mengutip ayat-ayat Al-Qur'an, dan perkataan Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini sudah terlihat perkembangan ar-Ritsa dari masa pra- dan awal Islam dibanding era Umayyah.
Begitu masuk periode Abbasiyah, ar-Ritsa banyak dibuat untuk mengenang tokoh-tokoh pemimpin. Pada periode ini konteks masyarakat Arab sudah sangat berbeda dari zaman Jahiliah dan banyak perhatian ditujukan pada strata-strata sosial yang ada. Selain tokoh - tokoh pemimpin, muncul juga puisi-puisi untuk mengenang kota yang hancur dalam peperangan dan mengenang hewan peliharaan yang telah setia menemani.
Berbeda dengan era klasik, di mana ar-Ritsa banyak mengungkapkan kesedihan atau ratapan yang bersifat menyeluruh, dimaksudkan untuk beresonansi dengan masyarakat, ar-Ritsa era modern bergeser ke ekspresi-ekspresi filosofis dan lebih banyak bertaut pada ego dan perasaan pribadi. Pada era modern muncul jenis ar-Ritsa yang menyajikan ratapan tentang diri sendiri.
Pada hakikatnya, sebagai salah satu tema yang ada pada syair Arab yang sudah ada sejak zaman Jahiliah ar-Ritsa memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan sastra Arab. Sebagai genre puisi elegi, karya ar-Ritsa idealnya menimbulkan empati pembaca atau pendengarnya terhadap apa yang dungkapkan dalam puisi tersebut. Dari masa pra-Islam hingga era modern, ar-Ritsa telah menjadi cerminan kehidupan masyarakat Arab dan menghasilkan karya-karya puitis yang memikat. Dalam perkembangannya, ar-Ritsa menyesuaikan tema dan ekspresinya dengan perubahan sosial dan budaya, namun tetap mempertahankan daya empati dan pesan universalnya. Sastra Arab, dengan kekayaan puisi dan keindahan ekspresinya, terus menghidupkan kisah-kisah yang menggugah perasaan dan memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan manusia. (ven)
Foto: Lukisan Al-Khansa oleh Kahlil Gibran, al-Funun 2, no. 10, 1917 (wikimedia.org)
Komentarai